Hukum Musik dan Lagu Menurut Muhammadiyah
Sekelompok orang menyatakan bahwa musik dan lagu hukumnya haram, dan para ulama empat madzhab secara umum memang melarang musik dan nyanyian. Dengan penjelasan singkat pada tabel berikut :
Madzhab | Pendapat |
Sebagian ulama Hanafi dan Hanbali | Haram bernyanyi dan mendengarkan walaupun tanpa alat malahi. |
Sebagian ulama Hanafi dan Hambali yang lain | Bernyanyi tanpa menggunakan alat malahi mubah. |
Ulama madzhab Syafi’i | Mendengarkan nyanyian tanpa musik hukumnya makruh. |
Abu Hamid al-Ghazali, Ibnu Hazm, as-Saqthy, al-Izz bin Abdissalam, Ibnu Daqiq al-‘Id. | Boleh dengan beberapa syarat. |
Begitu juga dengan jual-beli alat musik, hukumnya haram kecuali beberapa yang diperbolehkan. Pendapat ini dikemukakan oleh mayoritas ulama yang terdiri dari dua sahabat Imam Abu Hanifah, para ulama madzhab Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
Pendapat Selain Muhammadiyah
Sebagian orang meyakini dan mengikuti pandangan bahwa musik dan lagu itu haram dan termasuk perbuatan mungkar. Dengan mengajukan beberapa dalil dari ayat Al Quran dan hadits, salah satunya adalah dalam surat Luqman ayat 6 :
“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan” (QS Luqman :6).
Dalam tafsir al-Qurthubi dijelaskan bahwa yang dimaksud lahwal hadits (perkataan yang tidak berguna) adalah nyanyian menurut pemahaman Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas. Bahkan Ibnu Mas’ud mengulanginya sebanyak tiga kali.
Pendapat Muhammadiyah
Majelis Tarjih mengutip beberapa pendapat berkaitan dengan pengharaman musik dan kemudian menjelaskan pendapat dari para ulama yang membolehkan. Seperti Imam Malik, madzhab Zhahiri, Ibnu Qudamah al-Hanbali dan sekelompok sufi membolehkan mendengarkan musik meskipun disertai dengan alat musik yang dipetik dan klarinet. Pendapat ini berdasarkan pendapat beberapa sahabat : Ibnu Umar, Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Jubair, Mu’awiyah dan Amru bin Ash serta beberapa tabi’in seperti Said bin Musayyab.
Adapun pendapat Majelis Tarjih terkait dengan “lahwal hadits” atau “perkataan yang tidak berguna” dalam ayat yang digunakan sebagai dasar pengharaman, Majelis Tarjih berpendapat bahwa yang dimaksud dengan perkataan yang tidak berguna itu sebenarnya merupakan perkataan yang mengajak orang lain pada kesesatan dan kemaksiatan baik berupa nyanyian atau dalam bentuk yang lain.Sehingga jika syair nyanyian berisi perkataan yang mengajak pada kebaikan, maka tida tergolong dalam larangan itu.
Perlu diperhatikan pula bagaimana suatu seni disajikan, sehingga yang dilarang bukanlah nyanyian sebagai sebuah ekspresi seni saja, melainkan juga cara-cara penyampaiannya, seperti pakaian penyanyi wanita yang bertentangan dengan nilai Islam dan isinya yang membawa pada kemaksiatan.
Maka Majelis Tarjih menjelaskan bahwa dalam seni suara, terkhusus dengan alat-alat bunyian hukumnya berkisar pada illatnya, dan menjadi tiga macam :
- Apabila musik menarik pada keutamaan maka hukumnya sunnah.
- Apabila musik sekedar untuk main-main belaka maka hukumnya makruh dan menjadi haram jika mengandung unsur negatif.
- Jika menarik kepada maksiat maka hukumnya haram.
Muhammadiyah dengan pendekatan maslahat memilah mana musik dan nyanyian yang haram dan yang tidak. Muhammadiyah meyakini hukum asal nyanyian itu mubah. Jikapun ada faktor lain yang bisa merusak maka haramnya karena faktor atau unsur lain itu seperti syairnya berisi kata-kata yang tidak baik, porno, dan semisalnya. Maka yang diputuskan Muhammadiyah adalah meletakkan rambu-rambu berkaitan dengan musik dan tidak mengharamkan dengan mutlak.
Sumber : Buku “Perbedaan Muhammadiyah dan Salafi : Kumpulan Perbandingan Masalah Fikih” ditulis oleh Dr. H. Ali Trigiyatno dan Muhammad Utama Al Faruqi, Lc., M.Pd. diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah di tahun 2023.