Dapatkan berita terbaru Cabang, Ranting dan Masjid Muhammadiyah di WhatsApp

Q
Logo Lpcr New

Kantor Jogja

Jalan KH. Ahmad Dahlan
No. 103 Yogyakarta 55262

Hubungi Kami

(0274) – 375025
0857 2963 8181 (WA)

Kamis, 27 November 2025

Di tengah derasnya arus informasi dan derasnya interaksi di media sosial, literasi digital bukan lagi pilihan tambahan, melainkan kebutuhan mendasar bagi aktivis perempuan. Kesadaran inilah yang menjadi ruh utama dalam SECARA Nasyiah DIY Episode 7, yang menghadirkan Yunda Hajar Nur Setyowati, S.S., S.Thi., M.A, Pemimpin Redaksi Suara ‘Aisyiyah sekaligus pegiat literasi dan dakwah digital.

Mengusung tema Literasi Digital untuk Aktivis Nasyiah, forum ini menjadi ruang belajar bersama bagi kader Nasyiatul Aisyiyah se-DIY untuk memahami dunia digital secara lebih kritis, etis, dan strategis bukan hanya sebagai pengguna, tetapi sebagai penggerak perubahan sosial.

Literasi Digital: Keterampilan Dasar Aktivis Zaman Kini

Dalam pemaparannya, Yunda Hajar menegaskan bahwa literasi digital bukan sekadar kemampuan teknis menggunakan gawai atau media sosial. Lebih dari itu, literasi digital adalah kemampuan memahami, menilai, dan menggunakan teknologi secara sadar dan bertanggung jawab, dengan tetap menjunjung nilai-nilai Islam dan kemanusiaan.

Ia mengingatkan peserta bahwa dunia digital bukanlah ruang “maya” yang terpisah dari kehidupan nyata. Dampaknya sangat riil, terutama bagi perempuan dan anak, yang rentan menjadi sasaran kekerasan berbasis gender online, penipuan digital, hingga eksploitasi data pribadi.

Melalui cuplikan video keamanan digital, peserta diajak memahami berbagai modus penipuan daring—mulai dari tautan undangan palsu, pesan pengiriman paket fiktif, hingga permintaan data sensitif seperti OTP dan CVV. Pesan utamanya jelas: waspada, tidak tergesa-gesa, dan selalu memverifikasi informasi.

Dakwah Digital dan Narasi Kemajuan Perempuan

Masuk pada tema Dakwah Digital: Narasi Kemajuan Perempuan, Yunda Hajar menyampaikan bahwa ruang digital adalah ladang strategis dakwah dan advokasi. Data menunjukkan masyarakat Indonesia menghabiskan rata-rata lebih dari enam jam sehari di internet, termasuk anak-anak dan remaja.

Di sinilah peran Nasyiah menjadi sangat penting: menghadirkan konten yang mencerahkan, memberdayakan, dan melindungi, bukan sekadar ikut meramaikan linimasa. Ia menegaskan bahwa dakwah digital harus mencerminkan nilai khairu ummah: mencerahkan, membebaskan, memberdayakan, dan mendorong kemajuan dengan landasan nilai transenden.

Empat Pilar Literasi Digital Berbasis Nilai Islam

Yunda Hajar memaparkan empat pilar utama literasi digital bagi aktivis Nasyiah:

  1. Etika Digital – Bersikap jujur, berimbang, tidak tergesa-gesa menilai, dan tidak mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan.
  2. Keamanan Digital – Menjaga data pribadi, waspada terhadap penipuan, dan memahami risiko dunia digital.
  3. Keterampilan Digital – Mampu mengakses, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan tepat.
  4. Budaya Digital – Menghormati perbedaan, menghargai hak cipta, dan membangun interaksi yang beradab.

Landasan etika digital ini, menurutnya, sangat kuat dalam Al-Qur’an, antara lain melalui pesan QS. Al-Hujurat ayat 6 tentang kewajiban tabayyun, serta larangan mengikuti sesuatu yang tidak diketahui kebenarannya karena seluruh indera akan dimintai pertanggungjawaban.

Berpikir Kritis di Tengah Banjir Informasi

Dalam sesi ini, peserta diajak mengenali perbedaan antara hoax dan ujaran kebencian, serta ciri-ciri konten palsu: judul provokatif, sumber tidak jelas, dan visual yang dimanipulasi. Yunda Hajar juga membagikan kerangka berpikir kritis sederhana melalui pertanyaan reflektif:
Siapa yang membuat konten ini? Untuk siapa? Siapa yang diuntungkan? Apa dampaknya jika disebarluaskan?

Pendekatan ini menjadi bekal penting bagi kader Nasyiah agar tidak menjadi bagian dari rantai penyebaran informasi keliru, meski dibagikan oleh tokoh yang dihormati.

Aktivisme Digital yang Aman dan Berpihak pada Penyintas

Salah satu diskusi yang mendapat perhatian besar adalah kampanye digital dalam momentum 16 Hari Aktivisme Melawan Kekerasan Berbasis Gender. Yunda Hajar menekankan pentingnya kampanye yang tidak retraumatis, dengan menggunakan bahasa yang memberdayakan, seperti “penyintas”, menghindari sensasionalisme, serta memberikan peringatan konten pada materi sensitif.

Fokus kampanye sebaiknya diarahkan pada pencegahan, edukasi, dan solusi, bukan pada eksploitasi kisah kekerasan. Etika, empati, dan keberpihakan menjadi kunci utama.

Branding, Konten, dan Rekrutmen Kader di Era Media Sosial

Menutup sesi, Yunda Hajar membagikan strategi membangun branding digital dan konten organisasi. Ia menegaskan pentingnya mengenali identitas organisasi, memahami target audiens, serta menyesuaikan format dan platform konten, termasuk memanfaatkan media seperti TikTok untuk menjangkau generasi muda.

Konten yang baik, menurutnya, bukan selalu yang paling teknis, tetapi yang paling relevan dengan kebutuhan audiens dan selaras dengan nilai Nasyiatul Aisyiyah. Riset kecil, evaluasi rutin, dan konsistensi menjadi kunci agar dakwah dan rekrutmen kader tetap hidup di tengah persaingan konten hiburan.

Penutup

SECARA Nasyiah DIY Episode 7 menjadi pengingat bahwa aktivisme perempuan di era digital menuntut kecakapan, kebijaksanaan, dan keberanian moral. Literasi digital bukan hanya soal menjadi “melek teknologi”, tetapi menjadi subjek yang sadar, kritis, dan bertanggung jawab dalam membangun peradaban.

Dengan semangat ini, diharapkan kader Nasyiatul Aisyiyah semakin siap menjadikan ruang digital sebagai medan dakwah, advokasi, dan gerakan perempuan yang mencerahkan.

Simak SECARA Episode 7 di sini: 

Bagikan