Ikuti Semarak Lomba CRM Award 2025 | Menangkan Hadiah Total Rp54 Juta!

Q
Logo Lpcr New

Kantor Jogja

Jalan KH. Ahmad Dahlan
No. 103 Yogyakarta 55262

Hubungi Kami

(0274) – 375025
0857 2963 8181 (WA)

Oleh: HM. Dekyanus, S.Pd*

LPCR.OR.ID – Pada awal abad ke-20, dunia Islam, termasuk di Indonesia, mulai memasuki era kebangkitan. Di tengah penjajahan kolonial Belanda yang mengekang berbagai aspek kehidupan, muncul gerakan pembaruan Islam yang memberikan nafas segar dalam memahami dan mengamalkan agama. Salah satu gerakan besar yang lahir dari pembaruan ini adalah Muhammadiyah, yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tahun 1912.

Muhammadiyah hadir sebagai respons terhadap praktik keagamaan yang mulai bercampur dengan unsur-unsur budaya lokal yang tidak selaras dengan ajaran Islam murni. Gerakan ini menekankan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih, serta menyerukan pendidikan dan pemberdayaan umat sebagai jalan menuju masyarakat Islam yang berkemajuan. Dari pusat kelahirannya di Yogyakarta, gerakan Muhammadiyah menyebar ke berbagai daerah di Nusantara, termasuk wilayah Minangkabau di tanah Sumatera Barat, yang dikenal dengan kekuatan tradisi dan budaya adatnya.

Kehadiran Muhammadiyah di Nagari Sialang

Gerakan pembaruan itu akhirnya sampai ke pelosok Nagari Sialang, Kecamatan Suliki Gunung Mas, Kabupaten Lima Puluh Kota. Di tengah cengkeraman kekuasaan kolonial Hindia Belanda, muncul seorang pemuda bernama Alwi Syam yang menjadi pelopor dan penggerak utama berdirinya Muhammadiyah di kampung ini. Dengan semangat dakwah dan ilmu agama, Alwi Syam berhasil mengajak beberapa tokoh masyarakat untuk berpartisipasi dalam gerakan ini. Bersama Datuk Mangkuto, Amili, Khatib Islami, Djamaran, dan Darwis, mereka sepakat mendirikan Muhammadiyah di Sialang pada tanggal 1 Januari 1941, atau 1 Muharram 1340 Hijriyah.

Meskipun masa itu sulit, pengawasan Belanda ketat terhadap perkumpulan rakyat, semangat mereka tidak surut. Mereka menjadikan Surat Ali Imran ayat 104 sebagai motivasi utama perjuangan: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104). Ayat ini menjadi pembakar semangat para pelopor Muhammadiyah Sialang, bahwa berdakwah dan membina umat adalah kewajiban yang harus dijalankan dengan penuh keberanian dan keikhlasan, meskipun dalam tekanan penjajah.

Peran Perempuan: Lahirnya Aisyiyah di Sialang

Perkembangan Muhammadiyah di Sialang tidak terlepas dari peran kaum perempuan yang memiliki semangat dan kesadaran tinggi akan pentingnya perubahan. Dalam suasana perjuangan dominan oleh kaum laki-laki, muncul Tirana, istri dari Alwi Syam, sebagai pelopor gerakan perempuan. Tirana menyadari bahwa kemajuan umat tidak akan tercapai tanpa peran perempuan dalam dakwah dan pendidikan. Ia mengajak beberapa sahabat perempuan untuk membentuk wadah dakwah bagi kaum ibu dan remaja putri. Bersama Mardani, Koti, Badiah, Daromi, Ramani, Rohana, dan Nilah (istri Amili), mereka mendirikan organisasi perempuan Muhammadiyah, yaitu Aisyiyah, di Sialang.

Aisyiyah hadir dengan misi selaras dengan Muhammadiyah, tetapi fokus pada pembinaan perempuan, pendidikan anak-anak, dan peningkatan kualitas keluarga muslim. Tirana dan rekan-rekannya mulai mengadakan pengajian ibu-ibu, kelas mengaji anak-anak, dan pelatihan keterampilan rumah tangga. Meskipun terbatas fasilitas dan ancaman dari penguasa kolonial, para ibu Aisyiyah tetap melaksanakan kegiatan mereka dengan penuh keteguhan dan pengorbanan.

Perkembangan dan Warisan

Sejak pendiriannya, Muhammadiyah dan Aisyiyah di Sialang telah memainkan peran sentral dalam membentuk tatanan sosial dan pendidikan masyarakat. Organisasi ini mendorong pendidikan formal dan nonformal, memperkenalkan sistem pengajian teratur, dan memotivasi masyarakat untuk hidup lebih disiplin, bersih, dan mandiri. Selain konteks keagamaan, gerakan ini menjadi kekuatan sosial memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Ketika ada anggota sakit, pimpinan dan anggota Muhammadiyah bersama-sama membantu membiayai hingga sembuh, serta melanjutkan pekerjaan anggotanya yang terhenti.

Setelah puluhan tahun berlalu, jejak perjuangan Alwi Syam, Tirana, dan sahabat mereka masih terasa. Warisan dakwah, pendidikan, dan pemberdayaan itu terus diwarisi kader-kader berikutnya yang menjaga dan mengembangkan Muhammadiyah dan Aisyiyah di Nagari Sialang. Berdirinya Mualimin Muhammadiyah dan Madrasah Ibtidaiyah di Sialang, sekarang berganti nama MDA Muhammadiyah sebagai Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), menjadi bukti nyata keberlanjutan semangat tersebut.

Namun, beberapa dekade terakhir semangat ber-Muhammadiyah di Sialang seakan memudar akibat kemajuan zaman sehingga gerakan dakwah Muhammadiyah dalam ta’awun, sosial, dan pengajian seakan terabaikan. Sejarah Muhammadiyah dan Aisyiyah di Nagari Sialang adalah kisah keberanian, keikhlasan, dan keteguhan hati dalam membangun peradaban umat di tengah tekanan penjajahan. Ini bukan hanya kisah lokal, tetapi juga bagian dari sejarah besar Indonesia dalam melawan ketertinggalan dan memperjuangkan kemerdekaan dalam pemikiran.

* HM. Dekyanus, lulusan STKIP Bukittinggi jurusan Pendidikan sejarah. Aktif di Muhammadiyah sejak Mahasiswa sampai sekarang. Mantan Ketua PDPM/ Komandan Kokam 1994-2002, Ketua Pimda TapaTapak Suci 2000 – 2004. sekarang menjadi ketua LPCRPM PDM Lima Puluh Kota 2022 – 2027

Bagikan