Oleh: drh. H. Baskoro Tri Caroko
LPCR.OR.ID – Saya ragu ketika mendapat tugas hadir dalam pengajian Lembaga Seni Budaya PP Muhammadiyah, pada Jumat 25 Juli 2025, mengingat pukul 17.00 adalah jadwal operasi cesar untuk kelahiran cucu pertama. Karena online dan yakin Allah SWT pasti menolong, tugas tersebut kemudian saya terima.
Atas izin Allah SWT, lahir bayi perempuan cantik, berat 3050 gr tinggi 46 cm, dalam kondisi sehat, fisik lengkap. Indra pendengaran berfungsi dengan baik, menoleh kearah sumber suara, matanya terbuka perlahan ingin memastikan siapa yang bersuara, kemudian terdiam, gestur tubuhnya seolah mewakili qolbu yang menyetujui isi pesan dari seruan adzan yang sedang dilantunkan ayahnya, Allahuakbar.
Interaksi antara anak lelaki dan cucu perempuan adalah peristiwa penting, yang wajib disyukuri, selain sarat komitmen Ketauhidan terhadap Allah SWT Sang Maha Pencipta juga sebagai tanda kesiapan estafet dari generasi masa lalu kepada generasi masa sekarang dan untuk masa depan.
Selesai penyambutan cucu pertama, saya bersiap mengikuti pengajian. Hadir 29 orang, mengusung tema “ Fiqih Kebudayaan”. oleh Kyai Cepu wakil ketua LSB PP Muhammadiyah, diawali menyapa hadirin dengan sebutan jamaah Zoomiyah, panggilan unik dan menarik, budaya baru bagi saya.
Sebelum dimulai, Kyai Cepu menetapkan aturan bahwa pengajian dilakukan secara monolog tanpa tanya jawab, dengan alasan keterbatasan waktu. Cara seperti ini tidak fair, mengganggu kemerdekaan saya sebagai mantan IPM “demi pena dan segala yang dituliskan” dalam misi kebenaran mencari ilmu yang amaliah dan melakukan amal yang ilmiah, tapi yo wis, sudahlah, saya coba dengerin dulu saja.
Menurut Kyai Cepu materi Fiqih Kebudayaan terbagi kedalam 4 bab yang meliputi; Agama dan Budaya, Memaknai Tradisi, Hukum Seni, serta Budaya Berpikir Muhammadiyah.
Terkait hukum agama dan budaya, Di Muhammadiyah terjadi perbedaan, mayoritas berpendapat bahwa agama dan budaya tak bisa disatukan, dan minoritas berpendapat bisa disatukan. Kyai Cepu mengakui dirinya merupakan bagian dari minoritas, bahwa agama dan budaya tak bisa dipisahkan.
Contoh dalam memaknai tradisi, Kyai Cepu berpendapat Aqiqah adalah tradisi jahiliyah, karena sudah ada sebelum kehadiran rosulullah Muhammad SAW. Orang meninggal boleh ritual tertentu (slametan) agar terhindar zuul khatimah supaya masuk syurga. Menurut Kyai Cepu, mengucapkan selamat hari natal itu sah sah saja, karena natalan merupakan kegiatan perayaan, bukan ritual ibadah keagamaan, atau boleh dilakukan dengan pertimbangan jabatan kenegaraan dan atau sebagai public figure.
Terhadap hukum seni, misal terhadap musik menurut kyai Cepu diperbolehkan, berdasarkan kisah Rosulullah menutup telinga ketika mendengar suara seruling, selanjutnya dijelaskan kejadian tersebut karena suara seruling nya sember alias tak enak didengar
Sebagai materi penutup, membahas budaya berpikir Muhammadiyah, menurut pendapatKyai Cepu Muhammadiyah memiliki budaya berpikir kontekstual dengan membandingkan terhadap kelompok Salafi yang menurut beliau memiliki budaya berpikir tekstual.
Selesai mengikuti pengajian oleh Kyai Cepu, justru menimbulkan kegelisahan dalam diri saya, kenapa dibawa pada pemikiran sektoral melalui seni dan budaya. Dalam menyampaikan teori kenapa beliau sengaja merendahkan ustadz lain yang berbeda pendapat padahal sesama Muhammadiyah. Landasan pendapat beliau justru membuka peluang masuknya pemikiran lain diluar paham Muhammadiyah.
Daripada pusing, saya teguhkan dalam diri saya, selain risalah Islam yang berkemajuan, no way.
*drh. H. Baskoro Tri Caroko, LPCRPM PP Muhammadiyah pemberdayaan ekonomi, seni & budaya, pencipta lagu Senandung Perjuangan IPM, lagu Aku Cinta IPM, lagu LPCRPM Ranting Itu Penting, profesi sebagai Poultry Business & Technical Consultant, merupakan penggagas Usaha Ayam Petelur Untuk Kaum Dhuafa sebagai sumber dana abadi dakwah menggembirakan di Cabang Ranting di masa mendatang.
*