Dapatkan berita terbaru Cabang Ranting dan Masjid Muhammadiyah di WhatsApp

Q
Logo Lpcr New

Kantor Jogja

Jalan KH. Ahmad Dahlan
No. 103 Yogyakarta 55262

Hubungi Kami

(0274) – 375025
0857 2963 8181 (WA)

Kantor Jogja

Jalan KH. Ahmad Dahlan
No. 103 Yogyakarta 55262

Hubungi Kami

(0274) – 375025
0857 2963 8181 (WA)

Oleh: Shubhi Mahmashony Harimurti, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tulungagung Dosen Universitas Islam Indonesia

LPCR.OR.ID – Sudah banyak artikel maupun tayangan yang meliput sosok Sutrimo, pengusaha asal Tulungagung, Jawa Timur yang sempat viral karena mewakafkan 12 Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) untuk pembangunan Masjid al-Fattah, Kepatihan. Isu ini memang pantas diperbincangkan banyak kalangan karena cukup luar biasa untuk kondisi dan situasi umat Islam sekarang. Namun, ada beberapa hal yang perlu diluruskan terkait dengan berita ini dengan data dan fakta yang ada. Tanpa harus mengesampingkan peran Sutrimo yang memang berjasa besar dalam menyediakan logistik supaya kemakmuran Masjid al-Fattah tetap terjaga.

Sutrimo tidak terlahir sebagai orang kaya. Orang tuanya kurang mampu sehingga pendidikan tertingginya hanya jenjang Sekolah Rakyat (SR) atau Sekolah Dasar (SD) untuk konteks saat ini. Namun, semangatnya untuk sukses tidak dapat dipungkiri lagi. Pekerjaan-pekerjaan kasar pun tidak malu untuk dilakukannya. Berjualan keliling dari kampung ke kampung sudah jamak dikerjakannya sejak kecil.

Pengabdiannya untuk Muhammadiyah memang tidak dapat dipungkiri lagi. Di Ngunut yang merupakan tempat tinggalnya, Sutrimo juga mempunyai andil dalam memakmurkan masjid setempat. Bukti konkretnya adalah saat penulis menjadi imam dan khotib Salat Idul Fitri tahun 2019 di Masjid al-Ishlah, Ngunut, Sutrimo memberikan banyak kardus berisi makanan ringan berbasis kacang tanah hasil usahanya untuk dibagikan kepada jama’ah yang hadir, termasuk untuk penulis sendiri.

Masih di tahun yang sama, Takmir Masjid al-Fattah membulatkan tekad untuk merenovasi tempat ibadah yang berada di Jalan Letjen Suprapto 33 Kepatihan, Tulungagung tersebut. Gayung bersambut, Sutrimo membeli dua bidang tanah yang ada di sekitar masjid dan langsung mewakafkan ke Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Tulungagung. Pembelian dua bidang tanah ini melengkapi keberadaan tanah beserta masjid yang sebelumnya sudah ada. Jadi, Masjid al-Fattah adalah milik PDM Tulungagung, bukan perserorangan, siapapun itu.           

Hal ini juga menjadi klarifikasi terhadap pemberitaan yang banyak muncul di permukaan bahwa seolah al-Fattah adalah masjid yang murni baru dan merupakan milik Sutrimo. Masjid al-Fattah sudah ada sejak tahun 1952. Baru kemudian ada berbagai renovasi dan terakhir adalah perombakan total sehingga terlihat ikonik seperti sekarang. Terkait dengan sekelumit Sejarah Masjid al-Fattah telah direkam dalam buku yang disusun oleh penulis bersama Ayahanda sendiri. Berikut ini adalah gambar sampul buku tersebut.

Gambar1

Masjid al-Fattah memang sudah berkali-kali direnovasi, gambar sampul merupakan penampakan ruang utama sebelum pembangunan ulang hingga menjadi buah bibir sekarang. Saat renovasi paling mutakhir, peran Sutrimo cukup besar di sini. Lelaki berambut putih ini menjadi donator utama dalam pembangunan ulang masjid yang dimulai sejak awal 2020. Selain Sutrimo, warga Muhammadiyah dan masyarakat sekitar juga banyak yang berdonasi meski nominalnya tidak sebesar Sutrimo seorang diri.

Oleh karena itu, keberadaan Masjid al-Fattah sekarang tidak dapat dilepaskan dari peran maupun wakaf dari tiga pihak. Mulai dari H. Masjhuri di tahun 1952, warga Muhammadiyah secara berkelanjutan, dan Sutrimo pada 2019. Dari sini dapat pula belajar bahwa menghormati masa lalu adalah sebuah keniscayaan. Namun, sekali lagi, secara angka dan kenampakan terkini, posisi Sutrimo tidak dapat dinafikan. Ini berarti kontribusi Sutrimo sangat signifikan terhadap Pembangunan ulang Masjid al-Fattah.

Ketika menjadi penyala suar utama Masjid al-Fattah, Sutrimo memberikan pengaruh positif pada komunitas Muhammadiyah. Mulai dari peresmian di tanggal 29 Maret 2022 yang menghadirkan Prof. Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dijadikan sentra dakwah bagi persyarikatan beserta organisasi otonomnya di lingkungan Kabupaten Tulungagung, dijadikan objek studi tiru maupun wisata religi bagi warga Muhammadiyah luar kota, hingga menjadi ikon kebanggaan bagi organisasi berlambang matahari terbit ini.

Dalam pengembangan masjid, Sutrimo memegang peranan penting. Dia merupakan penyandang dana pemeliharaan aset yang dimiliki oleh Masjid al-Fattah. Terkait operasional sudah cukup ditutup oleh infaq yang dikeluarkan oleh jama’ah. Baik ketika Salat Jumat maupun kotak dan pembayaran digital yang tetap dapat diakses 24 jam dalam 7 hari. Pembiayaan pemeliharaan memang kebanyakan ditopang oleh Sutrimo, tetapi ada hal yang perlu diluruskan merespons pemberitaan di kanal media sosial yang cenderung agak liar karena beberapa kurang tepat. Isu tersebut khususnya mengenai pewakafan 12 SPBU untuk membangun Masjid al-Fattah. Hal ini tidak tepat. Tidak ada data yang dapat dipertanggungjawabkan untuk membuktikan hal tersebut. Namun, dalam pembangunan ulang dalam rentang awal 2020 hingga Maret 2022, Sutrimo mempunyai saham besar hingga bangunan tersebut terlihat instagramable seperti sekarang.  

Terkait program dakwah pun, Sutrimo tidak keberatan jika kegiatan-kegiatan pengajian dilangsungkan lebih intens jika dibandingkan saat masjid baru belum jadi. Sepanjang pemateri maupun isi kajian tidak bertentangan dengan paham Muhammadiyah maka itu tidak dipermasalahkan meski pengisi pengajian dan tajuknya tidak ‘berbau’ atribut organisasi yang didirikan 18 November 1912 tersebut. Ini juga selaras dengan pesan Prof. Haedar Nashir supaya Masjid al-Fattah lebih inklusif tanpa menghilangkan jati diri dan identitas sebagai Amal Usaha Muhammadiyah. Sutrimo sendiri pernah meminta kepada penulis supaya setiap 2 atau 3 bulan sekali mengisi pengajian di Masjid al-Fattah. Meskipun hingga tulisan ini dibuat, baru sekali saja penulis menyampaikan pengajian di masjid yang banyak orang menganggap mirip pusat perbelanjaan tersebut.

Dalam dunia edukasi, Sutrimo pun acap kali menjadi rujukan sejumlah lembaga pendidikan untuk menimba ilmu dalam hal pengelolaan masjid di lingkungan sekolah. Bahkan SD Muhammadiyah Condongcatur, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang selama ini dikenal reputasi dan prestasinya di ranah nasional bahkan internasional pun berkunjung ke Masjid al-Fattah pada akhir Agustus 2024 lalu.

Sutrimo

Sebagai pegiat bisnis yang juga baru saja bersedia menjadi penasihat Serikat Usaha Muhammadiyah ini tentu saja mempunyai pengaruh positif pada dunia perekonomian. Beberapa kali masjid yang hanya berjarak 20 meter dari rumah penulis ini menyelenggarakan pembagian sayuran gratis kepada jama’ah sebagai inisiatif menyelamatkan harga sayur-mayur yang sempat anjlok karena ulah para tengkulak yang tidak bertanggung jawab.

Konsistensi yang ditunjukkan oleh Sutrimo ini mendapatkan hasil yang patut disyukuri. Betapa tidak, Tulungagung yang selama ini dianggap sebagai basis abangan sedikit pudar dengan kehadiran wajah baru Masjid al-Fattah yang sedikit banyak ada jasa Sutrimo di dalamnya. Fakta mengenai sejarah Muhammadiyah di Tulungagung dapat diakses melalui laman https://online-journal.unja.ac.id/titian/article/view/5216 yang merupakan tulisan penulis sendiri.

Ketokohan Sutrimo juga menjadikannya sebagai sosok inspiratif. Buktinya adalah untuk pertama kalinya di tempat ibadah yang berdindingkan kaca tersebut dibentuk Komite Pemuda dan Remaja Masjid Muhammadiyah al-Fattah. Sebenarnya di tahun 2000an sudah ada Remaja Masjid, tetapi tidak semasif wadah bagi kaum muda tersebut sebagaimana sekarang. Kegigihan Sutrimo semasa muda hingga sukses menjadi pengusaha kelas kakap dalam produk kacang sanghai menjadi inspirasi bagi Gen Z untuk lebih banyak beraktivitas di Masjid al-Fattah. 

Komitmen melayani pun diungkap oleh Sutrimo sendiri bahwa dia adalah marbot masjid. Tidak pernah menggembar-gemborkan bahwa dia adalah donator terbanyak dalam pembangunan ulang Masjid al-Fattah yang menurut Nuraini Saichu, Sekretaris PDM Tulungagung, menghabiskan dana hingga Rp 20 miliar. Sutrimo juga tidak pernah meminta untuk dipuji bahwa dia adalah orang yang paling banyak mengeluarkan uang dalam pemeliharaan sarana dan prasarana di tempat ibadah yang sama sekali tidak mempunyai tiang di ruangan utama tersebut.

Melupakan peran tokoh terdahulu dan hanya mengakui jasa perorangan dalam pembangunan Masjid al-Fattah adalah sebuah kedustaan. Begitu juga sebaliknya, menafikan kontribusi Sutrimo dalam keberadaan masjid yang tidak mempunyai kubah tersebut adalah suatu ketidakbenaran. Ini lah yang dimaksud kolektif kolegial yang dilakukan oleh lelaki yang biasa disapa Mbah Trimo tersebut.