Catatan sederhana ini dimaksudkan sekedar ingin berbagi dengan semua kader untuk membicarakan kembali sengkarut persoalan cabang yang masih belum berdaya, berjalan terseok – seok dan menghadapi aneka masalah internal. Fenomena ini secara kasat mata terjadi dihadapan kita, dilevel kepemimpinan akar rumput, sehingga mustahil kita abaikan.
Sedangkan kata revitalisasi ditujukan sebagai upaya menggiatkan, menggairahkan, serta memberi daya, dan penguatan kembali baik secara ideologi maupun organisasi kepada para pimpinan dan semua anggota di tingkat cabang.
Secara faktual potret cabang Muhammadiyah sangat heterogen , ada yg sangat maju dan memiliki sederet AUM unggulan mulai dari BMT, mini market atau logmart, rumah sakit, panti asuhan, sekolah sampai universitas. Ditopang dengan puluhan ranting yang semuanya kuat dan berdaya. Inilah cabang papan atas yg menjadi “branding” Muhammadiyah dimata publik.
Selanjutnya adalah cabang yg masuk kategori papan tengah , cabang ini memiliki potensi besar untuk terus maju, dengan beberapa AUM baik pendidikan maupun ekonomi, yang mulai berkembang. Ada geliat ortom dan ranting yang dinamis didalamnya, dgn masjid yang bagus dan menjadi sentral kekuatan jamaah.
Namun dibalik kisah manis diatas, tengoklah kebawah masih banyak cabang tanpa papan nama, roda organisasi berjalan tertatih tatih, masjid satu satunya keliatan kurang terurus, para pimpinannya sudah sepuh karena macetnya kaderisasi. Cabangpun sunyi dari syiar kemuhammadiyahan. Satu satunya yg menandai cabang ini masih bernapas adalah adanya pengajian segelintir jamaah. Inilah gambaran cabang yang menempati papan bawah.
Revitalisasi Ideologi
Kurang lebih setahun yang lalu LPCR PP. Muhammadiyah me-release hasil temuannya dilapangan yang menunjukan bahwa salah satu faktor yang menjadi penyebab fakumnya cabang adalah lemahnya pemahaman terhadap ideologi dan paham agama Muhammadiyah di jajaran pimpinan dan anggotanya.
Ditengah-tengah infiltrasi ideologi yang dibawa oleh para “pendatang” yang menyusup ke tubuh persyarikatan, temuan ini sungguh ironis. Dan semakin mengafirmasi adanya kebutuhan untuk memproteksi warga persyarikatan dengan melakukan revitalisasi ideologi sekaligus penguatan paham agama Muhammadiyah. Agar memiliki pemahaman yg lebih mendalam. Sebuah “deep understanding” yang akan memunculkan kembali kesadaran kolektif tentang semangat, komitmen dan militansi perjuangan dalam bermuhammadiyah.
Sebagimana pesan pak AR, bahwa mengurus Muhammadiyah bukan cuma sekedar mengelola organisasi, bermuhammadiyah adalah berjuang mengurus Islam , disanalah tempat kita beribadah, berjihad, berinfak, bersedekah, dan berkorban.
Revitalisasi Organisasi
Salah satu tantangan lain yang dihadapi cabang adalah adanya “hibridasi identitas” pada sebagian anggotanya. Sebuah identitas “campuran” sebagai implikasi, meminjam Sholikhul Al Huda, bebasnya individu dan masyarakat berselancar mengakses informasi apapun yang dibutuhkan termasuk berselancar ideologi keagamaan, tanpa mempedulikan lagi batasan ideologi dan organisasi. Sehingga ada sebagian warga Muhammadiyah yg memiliki irisan dengan ideologi lain.
Namun fenomena ini tidak hanya berhenti pada “hibridasi ideologi” karena ada realitas yang cukup mengejutkan yaitu “hibridasi organisasi” dimana PCM dan PRM dikelola secara “campuran “ dengan unsur pimpinan yang berlatar belakang ormas lain.
PCM dan PRM “hibridasi” ini jelas tidak ditemukan rujukannnya dalam AD/ART Muhammadiyah sehingga menabrak aturan dan sendi sendi berorganisasi. Dari sisi pengembangan dan pemberdayaan cabang dan ranting hal ini sangat kontraproduktif. Karena cabang dan ranting sejatinya dikelola oleh para kader Muhammadiyah, tidak melibatkan pihak lain yang manhaj dan ideologinya berbeda.
Orang luar cuma sekedar memanfaatkan Muhammadiyah sebagai tempat transit untuk berkonsolidasi lalu kemudian meninggalkan Muhammadiyah dengan membawa serta aset dan jamaahnya.
Para pimpinan harus segera menyadari bahwa membiarkan hibridasi ini terus berlangsung sama dengan membiarkan “api dalam sekam” , sekelebatan kelihatan nampak rukun , tidak ada kepulan asap dipermukaan. Namun api itu secara perlahan akan terus membesar dan membakar , seperti bom waktu yang kapan saja siap meledak. Oleh karena itu bagi pihak luar, jika tidak bisa dipersuasi tidak ada lagi toleransi. Jalan keluarnya cuma satu, yaitu amputasi.
Peran LPCR
Sesuai amanat muktamar ke-46, Pimpinanan Pusat Muhammadiyah telah membentuk sebuah lembaga yang khusus menangani cabang dan ranting yang dikenal dengan LPCR. Kata ketua umum PP. Muhammadiyah, Haedar Nashir, lembaga ini memiliki peran sangat penting sebagai katalisator dalam pengembangan dan pemberdayaan cabang dan ranting. Baik berbasis konsep maupun langkah-langkah praktis yang lebih terfokus, spesifik, dan terorganisasi.
Atas dasar itulah LPCR Pusat telah mengambil langkah dengan melakukan riset lalu menginventarisasi semua persoalan yang dihadapi oleh cabang dan ranting, termasuk problem solvingnya. Selanjutnya tugas pimpinan cabang untuk menggali, memahami dan mengurai masalah yang dihadapi berdasarkan solusi yg ditawarkan. Jika tidak sanggup memecahkan sendiri , maka diskusikan dengan LPCR tingkat daerah untuk mencari jalan keluarnya.
Wallahu ‘alam bishawab