Dapatkan berita terbaru Cabang Ranting dan Masjid Muhammadiyah di WhatsApp

Q
Logo Lpcr New

Kantor Jogja

Jalan KH. Ahmad Dahlan
No. 103 Yogyakarta 55262

Hubungi Kami

(0274) – 375025
0857 2963 8181 (WA)

Kantor Jogja

Jalan KH. Ahmad Dahlan
No. 103 Yogyakarta 55262

Hubungi Kami

(0274) – 375025
0857 2963 8181 (WA)

Oleh: Isngadi Marwah Atmadja | Sekretaris Lembaga Pengembangan Cabang-Ranting dan Pembinaan Masjid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

LPCR.OR.ID – Salah satu  tradisi baik Umat Islam Indonesia selama bulan ramadhan adalah meramaikan masjid  dengan aneka kegiatan. Ceramah jelang berbuka, kuliah sebelum maupun setelah shalat tarawih, juga kajian ba’da shalat subuh. Semua itu seakan telah menjadi kebiasaan yang melekat di bulan ramadhan pada sebagian besar masyarakat kita.

Nabi Muhammad memang tidak pernah memerintahkan  juga tidak pernah memberi contoh tentang adanya ceramah jelang berbuka, kuliah setelah maupun sebelum shalat tarawih, juga kajian ba’da shalat subuh. Sependek pengetahuan penulis yang terbatas, juga tidak ada atsar dari generasi salaf baik di era sahabat maupun tabiin yang melakukan hal tersebut. Apalagi dijalankan sebulan penuh dan diatur dalam satu kepanitiaan yang tertib. Meski begitu, tradisi baik ini tidak perlu diperdebatkan sunnah atau bid’ahnya.

Selain tradisi  adanya ceramah-ceramah di atas, beberapa masjid (termasuk masjid dan mushalla Muhammadiyah), beberapa tahun belakangan juga membuat tradisi baru di bulan ramadhan. Yakni “mengontrak” atau mengundang “Imam Profesional”. Kalau perlu didatangkan dari luar daerah  bahkan luar negeri. Selain hafal Al-Qur’an beberapa juz, Imam profesional  ini biasanya mempunyai bacaan yang  fasih dan merdu yang nyaman  didengar para makmum. Harapannya, dengan mendatangkan Imam Profesional, para jamaah shalat tarawih dapat menjadi lebih khusuk.

Ini juga tradisi baik  yang perlu diteruskan. Apalagi kalau anak muda juga orang tua para pemakmur dan penggerak masjid setempat diberi kesempatan untuk belajar mentahsinkan bacaan Qur’annya kepada Sang Imam Profesional.

Demikian pula halnya dengan para penceramah atau pengisi kajian. Agar jamah tidak bosan karena penceramahnya hanya itu-itu saja, panitia ramadhan di masjid Muhammadiyah kadang sesekali menghadirkan atau mengundang  penceramah dari luar.

Namun demikian, di atas semua tradisi baik tersebut, demi keselamatan dan masa depan masjid serta jamaah Muhammadiyah, ada rambu-rambu yang harus diperhatikan.

Salah satu rambu  yang paling penting adalah memastikan Imam maupun penceramah yang akan mengisi di Masjid/Mushalla Muhammadiyah tidak bermanhaj atau berpaham agama yang menyelisihi paham agama Muhammadiyah.

Jangan sampai ada imam dan penceramah yang membid’ahkan cara shalat tarawih dengan pola 4-4-3. Menolak hisab dalam penentuan awal bulan, membid’ahkan duduk tawarruk di tahiyat shalat subuh, dan lain sebagainya.

Jangan sampai pula ada Imam maupun penceramahyang sengaja menguliti keputusan Muhammadiyah. Baik tentang ibadah maupun keputusan di bidang yang lain. Misalnya dengan menyatakan,   “Kalau menurut Majelis Tarjih, duduk tahiyat pada shalat dua rakaat itu dengan cara tawarruk. Tetapi kalau saya, memilih iftirasyi. Karena dalil tahiyat dengan iftirasyi itu lebih kuat. Cara Tarjih dalam beristinbath salah.”

Dalam permasalahan khilafiyah, berbeda dengan keputusan majelis tarjih memang diperbolehkan, tetapi sangat tidak elok kalau itu disampaikan di hadapan warga umum di masjid Muhammadiyah. Kalau mempunyai pemahaman yang tidak sama dengan Majelis Tarjih, silakan itu disampaikan ke Majelis Tarjih sehingga ada argumen di sana. Bukan di forum umum yang jamaahnya beragam.

Walau nampak sederhana, memberi ruang dan kesempatan kepada Imam dan penceramah yang berbeda manhaj atau paham agama ini secara organisatoris membahayakan Muhammadiyah.

Dengan menyebut “Tarjih seperti seperti itu, kalau saya memilih seperti ini, karena lebih kuat atau lebih benar.” Secara tidak langsung mengajak jamaah  dan warga Muhammadiyah untuk meragukan bahkan tidak mempercayai keputusan dan kebijakan Muhammadiyah. Dengan kata lain, semua keputusan dan kebijakan Muhamadiyah itu tidak perlu diikuti. Apalagi kalau penceramah itu juga bicara, “Walau katanya di Muhammadiyah (Tarjih) itu pengambilan keputusannya dilakukan oleh tim, kita tidak tahu apakah mereka itu benar paham ilmu agama. Karena kita juga tidak tahu cara rekruiten mereka di Tarjih.”

Oleh karena itu, jelang ramadhan tahun ini, Takmir, PRM, dan PCM harus lebih jeli dalam mengundang dan memilih Imam serta penceramah. Kisah adanya masjid-masjid Muhammadiyah yang diambil alih oleh kelompok lain, harus kita dijadikan pelajaran yang tidak boleh terulang.

Kisah nyata tentang adanya Imam Masjid Muhammadiyah yang selalu keluar dari ruangan (tidak mau mendengarkan) saat Ketua PCM atau PRM menyampaikan ceramah, tidak boleh terjadi lagi di belahan dunia manapun.

Takmir, PRM, dan PCM juga harus lebih jeli memantau perilaku jamaah. Kalau ada jamaah yang selalu meninggalkan majelis setiap kali ada pimpinan atau Ustadz Muhammadiyah yang menyampaikan ceramah. Jamaah seperti ini harus dicatat dan tidak perlu lagi diberi kepercayaan apapun di masjid Muhammadiyah. Orang seperti itu cukup sebagai jamaah atau makmum saja.

Gambar: Unsplash

Sumber gambar