Oleh: Sofriyanto (Anggota LPCRPM PP Muhammadiyah)
LPCR.OR.ID – Lembaga Pengembangan Cabang Ranting dan Pembinaan Masjid (LPCRPM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyelenggarakan Regional Meeting wilayah Jawa bagian Timur pada hari Jumat–Ahad tanggal 12–14 September 2025 di SMA Muhammadiyah 1 Ponorogo Jawa Timur. Regional Meeting tersebut diikuti oleh utusan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) dan LPCRPM PDM se-Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur, juga diikuti Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM), LPCRPM PWM se-Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur, dan tentunya LPCRPM Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Prof. Dr. dr. Sukadiono, M.M., menyampaikan paparan menarik yang disampaikan dalam Pembukaan Regional Meeting wilayah Jawa bagian Timur tersebut. Dalam Sambutan Pembukaan, Prof. Sukadiono menyatakan, “Dakwah tidak hanya aspek speaking (berbicara) saja tetapi juga ada aspek listening (mendengar). Mendengarkan dalam arti mendengarkan apa yang menjadi problem di masyarakat dan di situlah Muhammadiyah terjun untuk membantu memberikan solusi dari permasalahan yang ada di masyarakat.”
Prof. Sukadiono menyatakan bahwa dakwah Muhammadiyah di bawah kadang-kadang kurang luwes dan resistansi atau kaku terhadap situasi baru, kurang terbuka terhadap pendekatan yang berbeda dan kontekstual. Dakwah Muhammadiyah harusnya memegang prinsip mauizatil hasanah dalam komunikasi dakwah. Adanya Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) baik sekolah, rumah sakit, panti asuhan, maupun AUM lainnya, itu karena ada problem di masyarakat kemudian Muhammadiyah hadir memberi solusi di masyarakat.
Di sinilah, menurut Prof. Sukadiono aspek listening itu menjadi penting. Listening di sini beda dengan hearing. Listening dan hearing memiliki arti yang sama tetapi penerapannya berbeda. Kedua frasa itu benar. Listening mendengar kemudian diresapi di dalam hati kemudian dicarikan solusi. Hearing artinya mendengar juga tetapi dalam istilah Jawa hearing itu “mlebu kuping tengen, metu kuping kiwo” (masuk dari telinga kanan dan keluar melalui telinga kiri), tidak pernah mampir ke hati dan tidak mau mencarikan solusi ketika mendengar permasalahan.
Dalam tulisan ini, penulis ingin mengupas sedikit tentang perbedaan frasa listening dan hearing. Hearing dan listening dalam bahasa Indonesia sama-sama berkaitan dengan “mendengar,” tetapi memiliki perbedaan makna atau nuansa dalam penggunaannya. Fenomena seperti ini, dalam kahazanah ilmu bahasa (linguistik) disebut dengan istilah sinonimi (synonymy) yaitu hubungan makna antara dua kata atau lebih yang memiliki makna mirip atau hampir sama. Sinonimi dapat diartikan pula sebagai ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain. Namun, dalam praktiknya tidak ada dua kata yang benar-benar identik sepenuhnya, biasanya berbeda dalam nuansa makna (semantic nuance), konteks penggunaan (usage context), tingkat formalitas, atau emosionalitas (register/style). Dalam konteks Bahasa Indonesia ada contoh-contoh sinonim, misalnya melihat vs memandang, marah vs geram, rumah vs hunian, takut vs cemas, meninggal vs wafat, dan lain-lain.
Dalam kasus “hearing” vs “listening” hearing adalah proses fisiologis, sekadar menangkap suara dengan indera pendengaran. Contoh: I’m hearing some noise outside. Sedangkan listening adalah proses psikologis atau aktif, yaitu memperhatikan dan memahami apa yang didengar. Contoh: I’m listening to the teacher carefully. Jadi, kedua kata itu sinonim secara umum (sama-sama tentang mendengar), tetapi berbeda secara makna konotatif dan fungsional. Jadi, hearing=sekadar “telinga bekerja” sedangkan listening=“telinga dan hati bekerja bersama.”
Jadi, ketika Prof. Sukadiono menyatakan bahwa “dakwah Muhammadiyah itu listening, bukan hearing,” maknanya secara kontekstual bisa dijelaskan bahwa dakwah bukan sekadar menyampaikan (hearing), tapi memahami (listening). Dakwah bukan hanya memancarkan suara kebenaran, melainkan juga memahami kondisi, kebutuhan, dan bahasa batin mad’u (objek dakwah). Muhammadiyah tidak hanya “berkata benar”, tapi juga “menyampaikan kebenaran dengan cara yang membahagiakan dan mencerahkan”. Artinya, pimpinan, dai, dan kader Muhammadiyah tidak hanya bicara, tapi juga mendengar, mendengar aspirasi umat, problem sosial, dan realitas masyarakat.
Makna lain dari dakwah Muhammadiyah itu listening, berarti dakwah Muhammadiyah adalah dakwah yang empatik dan kontekstual. Kalau dakwah hearing berarti dakwah yang hanya satu arah, kering dari empati. Sedangkan dakwah listening berarti dakwah yang dialogis, mendengarkan suara masyarakat, dan merespons dengan solusi nyata. Inilah karakter dakwah Muhammadiyah yang berbasis amal nyata (amal saleh sosial), bukan hanya retorika verbal.
Prof. Sukadiono menekankan bahwa dakwah di ranting itu bagaimana bisa listening, mendekati, menyapa, mendengarkan masalah-masalah yang ada di masyarakat dan kader Muhammadiyah bisa memberikan solusi dari permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat tersebut. Jika ada model dakwah listening maka tidak ada perlawanan terhadap dakwah Muhammadiyah dan Muhammadiyah akan semakin berkembang, jumlah anggota, cabang, ranting akan meningkat.