Dalam Al-Quran, umat Islam diperintahkan untuk menyebut dan atau mengingat Allah (berdzikir) sebanyak-banyaknya, baik yang mampu terhitung atau yang tidak terhitung. Jika ingin menghitung dzikir, maka perkara yang disepakati adalah dengan menggunakan ruas jari-jarinya. Ibnu Allan ash-Shiddiqiy membolehkan penggunaan biji tasbih, sedangkan Imam as-Suyuthi yang dikutip oleh Tengku Hasbi ash-Shiddiqi mengatakan bahwa tidak ada larangan dari kalangan ulama salaf dan khalaf untuk berdzikir dengan tasbih.
Lalu bagaimana sikap Muhammadiyah dalam penggunaan biji tasbih ?
Pendapat Selain Muhammadiyah
Terdapat perbedaan pendapat Sebagian kalangan dalam menyikapi hukum menghitung dzikir dengan biji tasbih :
Ulama | Pendapat |
Syaikh al-Albani | Bid’ah, karena : tidak ada di masa Nabi –shallallahu ‘alayhi wa sallam– dan menyalahi sunnah. |
Syaikh Bin Baz, Syaikh al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Jibrin. | Boleh menggunakan, tetapi tidak seterusnya dibawa di tangan agar tidak riya’ dan yang lebih baik menggunakan tangan untuk berdzikir. |
Abu Abdirrahman al-Atsary (Salafi Indonesia) | Lebih baik menggunakan jari karena biji tasbih adalah budaya orang Budha dan Kristen. |
Pendapat Muhammadiyah
Pendapat Muhammadiyah selaras dengan pendapat mayoritas ulama Saudi yang membolehkan menggunakan biji tasbih, sekalipun menggunakan jari lebih utama dan sesuai sunnah. Majelis Tarjih juga mengungkap bahwa pada masa Nabi Muhammad –shallallahu alayhi wa sallam– para sahabat juga menggunakan biji-bijian seperti biji kurma, kerikil dan semisalnya untuk menghitung dzikir, hanya saja tidak dirangkai menjadi seperti bentuk tasbih seperti sekarang.
Sumber :
Buku “Perbedaan Muhammadiyah dan Salafi : Kumpulan Perbandingan Masalah Fikih” ditulis oleh Dr. H. Ali Trigiyatno dan Muhammad Utama Al Faruqi, Lc., M.Pd. diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah di tahun 2023.