Umat Islam di Indonesia pada umumnya tidak bersedekap setelah bangun dari rukuk atau posisi i’tidal. Pendapat tangan bersedekap saat i’tidal muncul pada sekitar tahun 60-an yang dikenalkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Pendapat ini bertambah populer ketika Syaikh al-Albani tidak sependapat dengan Syaikh Bin Baz.
Di Indonesia, pendapat ini juga semakin dikenal luas ketika masalah ini dibahas di Majalah al-Muslimun Bangil pada tahun 1983 oleh A. Qadir Hasan yang lebih cenderung pada pendapat Syaikh Bin Baz.
Pendapat Selain Muhammadiyah
Terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa bersedekap saat i’tidal tidak benar, bahkan disebut sebagai bid’ah dhalalah karena tidak ada dalilnya secara mutlak. Adapun Syaikh Bin Baz dan Utsaimin menganggap posisi tangan bersedekap saat i’tidal adalah sunnah. Sedangkan Syaikh Muqbil al-Wadi’i mengatakan bahwa bersedekap saat i’tidal bukanlah bid’ah dan bukan juga sunnah.
Pendapat Muhammadiyah
Majelis Tarjih menjelaskan bahwa yang lebih mendekati sunnah adalah tangan dilepas setelah bangkit dari rukuk, dan tidak bersedekap kembali. Penjelasan ini dengan memperhatikan pada hadits :
Pernah Rasulullah –shallallahu ‘alayhi wa sallam- apabila berdiri untuk shalat kemudian beliau berkata (membaca) sami’allahu liman hamidah dan beliau mengangkat dua tangannya dan berdiri tegak hingga tiap-tiap tulangnya kembali ke tempatnya masing-masing dengan lurus. HR at-Timridzi.
Menurut Syaikh Wahbah az-Zuhaili bahwa para ahli fikih mengatakan bahwa posisi i’tidal dalam keadaan berdiri penuh ketenangan dan kembali pada keadaan semula sebelum rukuk. Serupa dengan Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis) juga mengambil pendapat yang sama. Walaupun A. Qadir Hasan menyelisihi pendapat ini dengan menganggap bahwa tangan bersedekap saat i’tidal adalah sunnah.
Sumber :
Buku “Perbedaan Muhammadiyah dan Salafi : Kumpulan Perbandingan Masalah Fikih” ditulis oleh Dr. H. Ali Trigiyatno dan Muhammad Utama Al Faruqi, Lc., M.Pd. diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah di tahun 2023.