Terdapat berbagai tradisi unik di kalangan umat Islam di Indonesia ketika bulan Ramadan akan usai dan hari raya Idul Fitri telah tiba. Salah satu tradisi itu adalah Halal bi Halal, atau yang dikenal juga sebagai Syawalan, Silaturrahmi Hari Raya dan semisalnya. Karena itu tradisi, tentu saja hukumnya adalah boleh. Akan tetapi ternyata ada perbedaan pendapat dalam hal ini, lalu bagaimana pembahasannya ?
Pendapat Selain Muhammadiyah
Sebagian kalangan umat Islam di Indonesia berpendapat bahwa tradisi Halal bi Halal merupakan bid’ah karena hari raya dalam Islam harus berdasar dalil (tauqifiyyah). Tauqifiyyah menurut kalangan ini dalam hari raya ada dua sisi, yaitu sisi penyelenggaraan bahwa hari raya umat Islam hanya ada dua : Idul Fitri dan Idul Adha dan sisi tata pelaksanaannya.
Maka disimpulkan bahwa terdapat setidaknya dua pelanggaran syariah dalam acara Halal bi Halal, yaitu : (1) Mengakhirkan dan mengkhususkan permintaan maaf hingga hari Idul Fitri, dan (2) Ikhtilath (campur baur lawan jenis) dan berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram.
Pendapat Muhammadiyah
Sebelum istilah halal bihalal ini diperkenalkan oleh KH Wahab Chasbullah, Majalah Suara Muhammadiyah edisi no.5 tahun 1924 sudah menggunakan istilah ini denga dua jenis tulisan, yaitu Alal Bahalal dan Chalal bil Chalal yang berasal dari tulisan salah satu warga Muhammadiyah Gombong bernama Rachmad tentang pentingnya Chalal bil Chalal untuk sarana silaturrahmi saat hari raya Idul Fitri.
Maka Muhammadiyah tidak mengharamkannya, justru Muhammadiyah yang memulai dan mengembangkannya karena tradisi yang baik di hari raya.
Sumber :
Buku “Perbedaan Muhammadiyah dan Salafi : Kumpulan Perbandingan Masalah Fikih” ditulis oleh Dr. H. Ali Trigiyatno dan Muhammad Utama Al Faruqi, Lc., M.Pd. diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah di tahun 2023.