Dapatkan berita terbaru Cabang Ranting dan Masjid Muhammadiyah di WhatsApp

Q
Logo Lpcr New

Kantor Jogja

Jalan KH. Ahmad Dahlan
No. 103 Yogyakarta 55262

Hubungi Kami

(0274) – 375025
0857 2963 8181 (WA)

Kantor Jogja

Jalan KH. Ahmad Dahlan
No. 103 Yogyakarta 55262

Hubungi Kami

(0274) – 375025
0857 2963 8181 (WA)

Di kalangan umat Islam Indonesia, merupakan hal biasa jika terdapat ucapan “Shadaqallahul adzim” yang bermakna “ Maha Benar Allah Yang Maha Agung” seusai membaca Al Quran. Dari segi arti tentu setiap muslim pasti membenarkan firman Allah. Sebagian umat Islam tanah air termasuk Muhammadiyah juga tidak mempermasalahkan ucapan ini dengan catatan tidak meyakini sebagai sebuah ketentuan khusus yang harus dibaca. Lalu bagaimanakah perincian hukum ini ?

Pendapat Selain Muhammadiyah

Sebagian kalangan umat Islam berpendapat bahwa ucapan tersebut bid’ah seperti yang terdapat dalam fatwa Lajnah Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiah wa al-Ifta nomor 3303,  serta fatwa Syaikh Bin Baz, Syaikh Shalih al-Fauzan, Syaikh al-Utsaimin, dan Syaikh Abdul Muhsin ‘Abbad.

Pendapat Muhammadiyah

Beberapa ulama berpendapat terkait bacaan tashdiq atau ucapan “shadaqallahul adzhim” ini. Fatwa Al-Azhar sebagaimana pandangan Madzhab Hanafi dan Syafi’i mengatakan bahwa kalimat tashdiq seusai membaca Al Quran tidak masalah. Begitu juga Imam al-Qurthubi dan al-Harari asy-Syafi’i.

Sedangkan Muhammadiyah memberikan pandangan sebagai berikut :

Kata“ṣadaqallahul aẓim” tidak ditemukan adanya ayat atau hadist yang menerangkan secara jelas terkait praktek atau perintah Nabi Muhammad –shallallahu alayhi wa sallam– untuk mengucapkan lafal tertetnu sesudah membaca Al Quran.

Penggunaan lafal tersebut sebenarnya bukan hal yang baru, melainkan sudah ada sejak lama. Banyak ditemukan di dalam kitab-kitab tafsir setelah menerangkan tafsir suatu ayat, kemudian ditutup atau dilanjutkan dengan ucapan “ṣadaqallahul aẓim” seperti yang digunakan Ibnu Katsir dan Ibnu Ajibah dalam kitab tafsirnya, al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkamil Quran, asy-Syinqithi dalam Adhwaul Bayan, dan Sayyid Quthb dalam fi Zhilalil Quran.

Adapun dalil secara implisit (ghayru sharih / tidak nampak) adalah surat Ali Imran ayat 95 :

قل صدق الله فاتّبعوا ملّة إبراهيم حنيفا وما كان من المشركين

Artinya : “Katakanlah, ‘Benarlah (apa yang difirmankan) Allah’. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS Ali Imran : 95).

Dalam ayat ini secara konteks berbicara tentang Bani Israil. Pada ayat itu Allah berfirman untuk memerintahkan agar tegas kepada Bani Israil bahwa Al Quran adalah benar tentang kisah-kisah yang ada di dalamnya tentang Bani Israil di masa lalu.

Ber-istidlal (mengambil dalil) dari ayat ini diperbolehkan. Dalam hukum tajwid, diperbolehkan membaca ayat ini dengan berhenti setelah lafal “Allah” yang biasa disebut sebagai waqf jaiz (tempat diperbolehkan berhenti). Sehingga memberikan makna yang terpisah dari ayat sebelum dan sesudahnya.

Maka ucapan “ṣadaqallahul aẓim” boleh diucapkan kapanpun, tidak hanya diucapkan di hadapan Bani Israil yang meragukan Al Quran saja.

Menjadi catatan bahwa pengucapan “ṣadaqallahul aẓim” tidak disertai keyakinan bahwa ucapan ini termasuk sunnah, apalagi wajib. Tidak perlu juga dibaca seusai membaca ayat Al Quran ketika shalat.

Sumber :

Buku “Perbedaan Muhammadiyah dan Salafi : Kumpulan Perbandingan Masalah Fikih” ditulis oleh Dr. H. Ali Trigiyatno dan Muhammad Utama Al Faruqi, Lc., M.Pd. diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah di tahun 2023.