Bagi warga Muhammadiyah, menjadi perlu dan bahkan wajib untuk memilih keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid dalam mengamalkan Islam. Selain karena didasari etika berorganisasi, juga sebagai wujud loyalitas dan komitmen pada persyarikatan. Sehingga mereka yang tidak memilih keputusan Majelis Tarjih seolah kurang etika, kurang loyal dan kurang komitmen pada persyarikatan.
Lalu, apakah etika berorganisasi, wujud loyalitas dan komitmen tersebut cukup sebagai dasar memilih keputusan Majelis Tarjih ? Lalu bagaimana dengan selain warga persyarikatan, apakah kemudian mereka tidak perlu untuk mematuhi keputusan Majelis Tarjih ? Lantas apakah alasan memilih keputusan Majelis Tarjih selain ketiga hal itu ?
Pertama, Ijtihad Jama’iy
Majelis Tarjih dalam melihat sebuah masalah dan menentukan sebuah hukum dan keputusan tidak melihat dari satu sisi saja. Melainkan dari berbagai sisi sesuai latar belakang bidang ilmu masing-masing anggota. Seperti dalam menentukan tuntunan ibadah di masa pandemi. Majelis Tarjih dalam memutuskan hukum tidak hanya didasari dengan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi juga pendekatan ilmu pengetahuan terkait.
Sehingga ijtihad Majelis Tarjih bukanlah ijtihad yang dilakukan dan ditetapkan oleh satu orang. Sehingga masalah yang dihadapi kurang dipahami dari semua sisi yang berkaitan. Suatu masalah yang dipandang lebih utuh akan menjadikan solusi dan hukum yang diberikan lebih tepat dan utuh pula.
Kedua, Pendekatan Kompleks
Majelis Tarjih memiliki pendekatan khas dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, yaitu Bayani (berdasar nash dalil tekstual), Burhani (berdasar ilmu pengetahuan) dan Irfani (berdasar intuisi) sebagaimana yang tertulis dalam Risalah Islam Berkemajuan dan dokumen-dokumen Tarjih lainnya. Sebagaimana ijtihad jama’i, analisa sebuah masalah agama dilihat dari banyak perspektif terkait sehingga lebih utuh dalam memahami sebuah masalah dan memberikan ketetapan hukum atau putusan.
Perkembangan ilmu pengetahuan menjadikan masalah agama juga menjadi lebih dinamis. Sehingga dibutuhkan pendekatan yang lebih lengkap dalam memahami masalah-masalah itu.
Ketiga, Kontekstual Ruang dan Waktu
Keputusan dan hukum yang ditetapkan Majelis Tarjih selalu sesuai konteks ruang dan waktu, yaitu di Indonesia dan di masa sekarang, bahkan berorientasi di masa mendatang. Majelis Tarjih juga telah membuat kalender Kamariah jauh di masa mendatang.
Karena seringkali hukum dan ketetapan dalam permasalahan agama itu terikat dengan kondisi ruang dan waktu ketika hukum dan ketetapan itu ditentukan dan ditulis. Sehingga ketika fatwa yang dikeluarkan oleh sekelompok ulama di negara tertentu dan di waktu tertentu dibawa dan diterapkan di Indonesia, kemudian terjadi masalah hingga menimbulkan konflik sosial karena kurang sesuai dengan kondisi di Indonesia.
Islam memang agama yang sesuai di semua tempat dan waktu, akan tetapi dalam hal fatwa pada beberapa permasalahan, tentu tidak bisa dimaknai dan ditetapkan secara tekstual karena perbedaan latar belakang ruang dan waktu.