Dapatkan berita terbaru Cabang Ranting dan Masjid Muhammadiyah di WhatsApp

Q
Logo Lpcr New

Kantor Jogja

Jalan KH. Ahmad Dahlan
No. 103 Yogyakarta 55262

Hubungi Kami

(0274) – 375025
0857 2963 8181 (WA)

Kantor Jogja

Jalan KH. Ahmad Dahlan
No. 103 Yogyakarta 55262

Hubungi Kami

(0274) – 375025
0857 2963 8181 (WA)

Oleh: Arifah Yumna, PK IMM Al Khawarizmi UGM

LPCR.OR.ID – Menapaki era Society 5.0, konsep kehidupan yang ditawarkan oleh pemerintah Jepang, kehidupan manusia mengalami revolusi secara eksponensial. Society 5.0 tidak hanya menawarkan integrasi teknologi canggih, seperti Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), Big Data, dan robotika, tetapi juga penyeimbangan inovasi tersebut untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang berfokus pada peningkatan kualitas manusia  (Handitya, 2021).  Salah satu ciri Society 5.0 adalah pertukaran dan akses informasi yang cepat, baik melalui media sosial maupun fitur yang terintegrasi AI. Menurut DataReportal & We Are Social (2024), per Januari 2024 terdapat 5,04 miliar pengguna media sosial. Angka ini mencapai 62,3% populasi dunia dengan rata-rata 9,4 pengguna baru setiap detiknya. Hal ini membuktikan bahwa kemudahan mengakses informasi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat modern, terkhusus di era Society 5.0.

Kemudahan teknologi untuk mengakses informasi memang memberikan banyak manfaat terhadap individu, organisasi, maupun masyarakat, seperti peningkatan efisiensi pembelajaran, pengambilan keputusan yang lebih cepat, perluasan literasi masyarakat, peningkatan partisipasi publik, dan pengembangan inovasi serta kreativitas. Meski demikian, manfaat ini tidak lepas dari dampak buruk yang disebabkan oleh limpahan informasi yang tidak terkendali atau biasa disebut dengan istilah disrupsi informasi. Penelitian yang dilakukan oleh Priporas dkk. (2024) dengan partisipan 25 remaja Generasi Z di London, UK mengindikasikan gangguan teknologi akibat disrupsi informasi berupa respons konsumen terhadap informasi, kelebihan rangsangan sensorik, dan ketidaknyamanan. Ketiga indikator tersebut berdampak negatif pada produktivitas, kinerja, efektivitas, pemikiran kritis, emosi, dan konsentrasi. Selain itu, kombinasi tiga teknologi digital, yaitu big data, algoritma, dan AI, turut memperkeruh disrupsi informasi. Big data dimanfaatkan sebagai alat manipulasi untuk merancang pesan dengan berbagai macam emosi, algoritma sebagai siasat pendistribusian pesan, sedangkan AI dengan fitur deepfake sebagai produsen video-video rekayasa yang mampu mengecoh publik. Teknologi digital telah mengakselerasi disrupsi informasi dan konsumen terkadang tidak mampu menjangkau praktik mutakhir tersebut (Hadmoko dkk., 2023). Tanpa budaya penyaringan informasi yang bijak, manusia bagai tempat sampah bagi informasi–yang tidak diketahui kebenarannya. 

Percepatan perubahan teknologi merupakan realitas yang tidak dapat ditolak secara mentah dalam kehidupan modern. Di tengah arus disrupsi informasi dan transformasi sosial dalam menyongsong era Society 5.0, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai gerakan intelektual profetik memiliki posisi strategis dalam merespons tantangan jaman. Berbekal nilai tri kompetensi dasar–religiusitas, intelektualitas, dan humanitas–IMM dituntut untuk membangun ruang intelektual yang tidak stagnan, melainkan responsif dan adaptif terhadap perubahan sehingga mampu mengadvokasi pergerakan sosial secara kritis. Lebih dari itu, Ahmad Sholeh dalam bukunya yang berjudul IMM AUTENTIK: Melacak Autentisitas dan Substansi Gerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah menuliskan bahwa tujuan Ikatan adalah terciptanya masyarakat ilmu Muhammadiyah sebagai grandmaster dari masyarakat dengan semboyan “Unggul dalam Intelektual, Anggun dalam Moral, dan Radikal dalam Gerakan”. Radikal dalam gerakan dimaknai sebagai tindakan praksis oleh Ikatan dalam mengimplementasikan pengetahuan yang dimilikinya untuk mendorong perubahan sosial (Sholeh, 2017). Gagasan intelektual ini kemudian diimbangi dengan Etika Welas Asih yang lahir dari aksi kemanusiaan Kiai Dahlan sehingga membentuk fondasi gerakan intelektual profetik sebagai manifestasi nilai ketuhanan untuk kemanusiaan. Dalam konteks ini, orientasi gerakan intelektual perlu bergeser, dari yang semula fokus terhadap intellectual exercise dengan minimnya dampak atas perubahan sosial menuju social struggle yang berfokus pada perjuangan sosial transformatif (Sani, 2020). Pergeseran orientasi gerakan intelektual Ikatan berlandaskan pada pembebasan kader Ikatan dari aspek pengetahuan yang reduktif, praksis sosial yang seduktif, serta pemahaman keagamaan yang stagnan. 

Penerapan konsep intelektual profetik secara kontemporer membantu Ikatan dalam merespons maraknya informasi yang manipulatif dan provokatif akibat disrupsi informasi. Namun, problematisasi yang terjadi saat ini tidak sesederhana pemahaman terhadap algoritma konten media sosial. Dihadapkan dengan arus digital, banyak remaja yang mengalami penurunan daya kritis terhadap masalah sosial. Konsumsi terhadap video reels Instagram maupun TikTok yang berdurasi singkat memungkinkan mereka memperoleh lebih banyak informasi dalam sekali duduk, tetapi pemahaman terhadap substansi video sangat dangkal. Bahkan, narasi visual instan dan hoaks dengan embel-embel ‘yang penting viral’ mendominasi konten media sosial. Hal ini membuktikan minimnya penyaringan informasi yang dilakukan oleh kesadaran epistemik konsumen. Fenomena ini melahirkan generasi dengan pola pikir instan, tidak kritis terhadap isu-isu di sekitarnya, dan mudah digiring opininya untuk kebutuhan eksistensi sosial. Dengan demikian, dibutuhkan konsep gerakan yang mampu memberikan ruang kebebasan berpikir, tidak hanya memberikan afirmasi terhadap arus digital, tetapi juga mengasah pola pikir yang kritis dan menciptakan Ikatan yang berperan sebagai agen penyebar informasi yang kontekstual. Konsep gerakan intelektual profetik dapat diformulasikan kembali agar menjadi sesuatu yang utuh dan relevan sebagai respons dari transformasi teknologi. 

Kerangka pemikiran profetik dalam bingkai pedagogi kemanusiaan sangat relevan untuk diterapkan di era disrupsi. Hal ini sejalan dengan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara yang tertuang dalam Pascadarma Taman Siswa. Konsep pendidikan ini berangkat dari filsafat humanisme-teosentris dengan mengintegrasikan rasio dan wahyu sebagai sumber pengetahuan dan menekankan pendidikan profetik sehingga terbentuk suatu keseimbangan antara aspek kognitif dan spiritual dalam dunia pendidikan (Hidayat, 2021). Nalar profetik ini kemudian menjadi landasan bagi gerakan intelektual Ikatan dalam mengusung transformasi sosial. Gerakan ini bukan dimaknai sebagai ‘ilmu untuk ilmu’ yang melahirkan perkembangan ilmu yang maksimal, melainkan ‘ilmu dalam pandangan ikatan ilmu’ yang menciptakan transformasi sosial berdasar nilai-nilai ke-Illahi-an (Sholeh, 2017). Namun, kerangka gerakan intelektual profetik dalam upaya mendukung transformasi sosial masih kurang adaptif terhadap dinamika transformasi digital yang sangat pesat. Ikatan perlu mengintegrasikan konsep gerakan intelektual profetik dengan teknologi digital untuk mengisi kekosongan antara nilai praksis yang ditawarkan dan realitas dunia digital saat ini. Dengan demikian, disrupsi informasi tidak lagi dipandang sebagai sebuah ancaman, melainkan dipandang sebagai sebuah medium transformatif menuju integrasi gerakan intelektual profetik yang ramah teknologi.

Konsep gerakan intelektual profetik yang ramah teknologi diintegrasikan melalui nilai-nilai profetik, yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi. Pengintegrasian ini menghendaki hadirnya transformasi sosial dengan tiga tujuan. Pertama, kesadaran kolektif dalam memanfaatkan teknologi, terkhusus arus informasi yang terus mengalir. Kader Ikatan perlu berperilaku kritis terhadap informasi-informasi yang diterima dan memiliki filter nilai berlandaskan nalar profetik. Sikap ini merupakan tanggung jawab moral sebagai kader Ikatan untuk menciptakan ruang digital yang sehat. Kedua, teknologi yang memanusiakan. Konten yang manipulatif dan provokatif tidak jarang menyerang psikologis seseorang. Selain itu, pelecehan seksual berbasis digital–seperti doxing dan penyebaran konten tanpa persetujuan–juga marak terjadi. Melalui integrasi gerakan intelektual profetik yang ramah teknologi, IMM diharapkan dapat mendorong hadirnya etika digital sebagai implementasi nilai humanisasi. Pemanfaatan platform digital sebagai wadah untuk memproduksi konten yang edukatif dan persuasif menjadi sebuah keharusan untuk menyuarakan narasi ‘humanitas’ dalam ruang digital. Ketiga, orientasi transendental dalam transformasi digital. Pendekatan gerakan intelektual profetik terhadap transformasi digital dapat menyebabkan polarisasi digital–krisis jati diri atau sosial dalam dunia digital–sehingga menyebabkan jati diri Ikatan terpolarisasi dan mengabur dalam derasnya arus informasi. Akibatnya, Ikatan hanya menjadi sebuah organisasi simbolik tanpa substansi yang jelas. Oleh karenanya, nilai ‘transendental’ tidak boleh terlepas dari semangat transformasi. Transformasi digital harus diarahkan kepada nilai-nilai transenden kepada Tuhan sebagai konsekuensi masyarakat ilmu yang bersifat praksis kemanusiaan (amal ilmiah untuk-Nya). Kader ikatan secara organisatoris menjadi realitas sosial yang berdialektika dengan agama sebagai bentuk peningkatan ibadah kepada Allah (Sholeh, 2017).

Di tengah realitas transformasi digital pada era Society 5.0, isu disrupsi informasi menjadi sebuah ancaman bagi umat manusia. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai gerakan intelektual yang berlandaskan tri kompetensi dasar–religiusitas, intelektualitas, dan humanitas–dituntut agar mampu beradaptasi terhadap perubahan zaman. Pengintegrasian gerakan intelektual profetik–humanisasi, liberasi, dan transendensi–dengan transformasi digital menjadi solusi IMM untuk menjadi agen transformasi sosial yang ramah teknologi. Gerakan ini menawarkan pemanfaatan platform digital untuk membangun kesadaran kolektif terhadap teknologi dan mendorong terciptanya teknologi yang memanusiakan berlandaskan nilai ‘transendental’ sebagai bentuk peningkatan ibadah kepada Allah.

DAFTAR PUSTAKA

Hadmoko, D. S., Ambardi, K., & Murtiningsih, S. (2023). Ilmu Sosial Politik Masa Depan: Menjawab Megashift? Gadjah Mada University Press.

Handitya, B. (2021). MEMBANGUN KARAKTER PANCASILA DALAM MENGHADAPI ERA SOCIETY 5.0. Jurnal Pancasila, 2(2), 45-48.

Hidayat, R. (2021). Paradigma Pendidikan Profetik dalam Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Aktualisasinya di Era Disrupsi. Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman, 11(1), 60-73.

Priporas, C. V., Hussain, S., Khaneja, S., & Rahman, H. (2024). Technology distraction in Generation Z: The effects on consumer responses, sensory overload, and discomfort. International Journal of Information Management, 75, 1-19.

Sani, M. A. H. (2020). Manifesto Gerakan Intelektual Profetik. Litera.

Sholeh, A. (2017). IMM autentik: melacak autentisitas dan substansi gerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Pustaka Saga.