Ikuti Semarak Lomba CRM Award 2025 | Menangkan Hadiah Total Rp54 Juta!

Q
Logo Lpcr New

Kantor Jogja

Jalan KH. Ahmad Dahlan
No. 103 Yogyakarta 55262

Hubungi Kami

(0274) – 375025
0857 2963 8181 (WA)

LPCR.OR.ID – Di tengah derasnya arus digitalisasi dan disrupsi media, suara kaum muda kembali menggema lewat kegiatan Writership Academy Suara ‘Aisyiyah Institute X Program Inklusi PP ‘Aisyiyah dengan tema “Orang Muda Membangun Narasi Kesetaraan: Mengasah Skill Menulis di Era Digital.” Kegiatan yang berlangsung pada 18–19 Oktober 2025 di SM Tower Malioboro, Yogyakarta, ini menjadi ruang belajar kolaboratif bagi para penulis muda Muhammadiyah, termasuk peserta difabel, untuk membangun narasi inklusif dan berkeadilan gender.

Sebanyak 25 peserta berusia 18–25 tahun terpilih mengikuti pelatihan intensif selama dua hari. Mereka adalah kader Muhammadiyah yang sudah memiliki pengalaman dasar menulis dan siap diasah menjadi penulis yang tidak hanya piawai dalam teknik, tetapi juga peka terhadap isu sosial. Kegiatan ini diinisiasi oleh Suara ‘Aisyiyah Institute bekerja sama dengan Program Inklusi PP ‘Aisyiyah, sebagai bagian dari komitmen organisasi perempuan tertua di Indonesia dalam mengarusutamakan Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI).

Pada sesi pembuka, Tri Hastuti Nur Rochimah, Sekretaris Umum PP ‘Aisyiyah, bersama Hajar Nur Setyowati, Pemimpin Redaksi Suara ‘Aisyiyah, mengajak peserta memahami makna GEDSI. Menurutnya, literasi tidak hanya tentang kemampuan menulis, tetapi juga kesadaran sosial terhadap ketimpangan. “Narasi yang kita bangun harus menghadirkan suara mereka yang jarang terdengar. Itulah dakwah pencerahan dalam bentuk baru,” tegas Tri Hastuti.

Kisah “Tini,” tokoh fiktif dalam materi pelatihan GEDSI, menjadi contoh bagaimana narasi dapat mengungkap lapisan ketidakadilan yang dihadapi perempuan difabel. Dari kisah ini, peserta diajak melakukan analisis interseksionalitas untuk memahami bagaimana gender, status sosial, dan disabilitas berinteraksi membentuk pengalaman hidup seseorang. Pendekatan ini menegaskan pentingnya jurnalisme inklusif yang tidak sekadar mengisahkan, tetapi juga memperjuangkan.

Sesi berikutnya dibawakan oleh Muhammad Ridha Basri, Redaktur Suara Muhammadiyah, dengan topik “Menggali Ide.” Ia menantang peserta untuk melihat ide di sekitar mereka—di grup WhatsApp, antrean, atau bahkan obrolan warung kopi. “Masalahnya bukan kita tidak punya ide, tapi kita belum tahu cara menemukannya. Tugas penulis adalah membuat yang tidak terlihat menjadi terlihat,” ujarnya. Ridha mengajarkan bahwa ide yang kuat lahir dari perpaduan antara pengalaman pribadi, bacaan luas, dan kepekaan sosial.

Lebih lanjut, Ridha menegaskan bahwa setiap penulis muda harus menulis dari “kegelisahan”—rasa terusik oleh ketimpangan atau ketidakadilan yang mereka saksikan. Dengan mengubah pengalaman pribadi menjadi pertanyaan kritis, penulis dapat menciptakan gagasan yang relevan dan berdampak. “Tulisan terbaik lahir bukan dari marah, tapi dari refleksi,” tambahnya, mengajak peserta menjadikan empati sebagai bahan bakar utama penulisan.

Pada sesi siang, Hera Diani, jurnalis senior dan pendiri Magdalene.co, membawakan materi “Teknik Menulis Populer.” Ia menekankan pentingnya gaya menulis yang sederhana namun tajam agar pesan kesetaraan dapat diterima publik luas. “Tulisan yang baik bukan yang rumit, tetapi yang bisa menggerakkan pembaca untuk peduli,” ujarnya. Ia mencontohkan bagaimana bahasa bisa menjadi alat advokasi bagi isu-isu gender dan disabilitas.

Hari kedua diisi dengan sesi Personal Branding oleh Saraswati N., yang mengajak peserta menemukan “suara” dan identitas penulis mereka sendiri. Melalui latihan refleksi dan pembuatan tagline pribadi, peserta diajak menyadari nilai-nilai yang mereka bawa dalam setiap karya. “Nama kalian adalah merek, namun kisah kalian adalah kekuatan,” ucap Saraswati, menegaskan bahwa konsistensi, kejujuran, dan rasa ingin belajar adalah fondasi dari kredibilitas seorang penulis.

Writership Academy ini bukan sekadar pelatihan teknis, melainkan gerakan literasi pencerahan yang menanamkan kesadaran kritis. Melalui narasi yang inklusif, peserta diharapkan dapat mendorong perubahan sosial di lingkungan Muhammadiyah dan masyarakat luas. Setiap tulisan menjadi jembatan antara idealisme dan realitas, antara dakwah dan advokasi.

Menutup kegiatan, panitia menegaskan bahwa karya peserta nantinya akan dipublikasikan melalui kanal Suara ‘Aisyiyah dan jejaring media Muhammadiyah sebagai wujud nyata dakwah literasi. Writership Academy membuktikan bahwa gerakan kesetaraan dibangun melalui kebijakan, wacana, dan pena muda yang menulis untuk perubahan.

Kontributor: Nashrul Mu’minin

Bagikan