Oleh: Eko Triyanto*
LPCR.OR.ID – Sebagai bagian dari rukun Islam, ibadah haji telah dilakukan oleh umat Islam di Indonesia sejak berabad silam. Sebelum mesin uap ditemukan, perjalanan haji ditempuh menggunakan kapal layar, memakan waktu berbulan-bulan karena mengandalkan kekuatan angin. Pada tahun 1858, Inggris membuka layanan perjalanan haji pertama dari Indonesia menggunakan kapal uap.
Beberapa saudagar keturunan Arab juga membuka layanan haji dengan membeli kapal uap dari Basier en Jonkheim. Sementara itu, Belanda memanfaatkan peluang bisnis ini melalui tiga perusahaan pelayaran mereka: Rotterdamasche Llyod, Mij Nederland, dan Mij Oceaan, yang dikenal sebagai Kongsi Tiga.
Walaupun ada beberapa perusahaan pelayaran khusus haji, pelayanan kepada jamaah haji dinilai kurang manusiawi. Sebagai upaya perbaikan, Muhammadiyah memberi perhatian khusus dengan membentuk Bagian Penolong Haji (BPH) pada tahun 1912, bersamaan dengan pendiriannya. Bagian ini dipimpin oleh KH. M. Sudjak.
BPH menyelenggarakan kajian, kursus, dan pembekalan bagi calon jamaah haji, yang kini dikenal sebagai manasik haji. BPH juga mendampingi calon jamaah agar memperoleh pelayanan yang baik dari perusahaan pelayaran. Semua dilakukan tanpa tujuan komersial, menghindarkan calon jamaah dari pemerasan.
Dari sisi jamaah, usaha BPH mulai membuahkan hasil, memberikan bekal ilmu dan wawasan yang cukup. Namun, dari sisi penyedia jasa pelayaran, perbaikannya belum maksimal. Pada tahun 1922, KH. Ahmad Dahlan mengutus KH. M. Sudjak dan Mas Wirjopertomo ke Tanah Suci untuk investigasi.
Pelayanan konsumsi dan kesehatan jamaah haji saat itu buruk, membuat angka kematian tinggi. Dari 28.839 jamaah haji Indonesia pada tahun 1921, 3.170 meninggal. Hingga awal 1930-an, jumlah kematian mencapai 10 per seribu jamaah. Melihat kondisi ini, KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1921 menuntut Belanda untuk memperbaiki pelayanan. Belanda kemudian melakukan perbaikan yang dikenal sebagai Ordonansi Haji 1922, mengatur perbaikan dalam keamanan, kesehatan, dan fasilitas perjalanan.
Muhammadiyah terus berusaha memperbaiki haji. Pada tahun 1923, KH. M. Sudjak bersama HOS Cokroaminoto dan Haji Agus Salim mendirikan Organisasi Haji Hindia Timur untuk bernegosiasi dengan Kongsi Tiga. Selain itu, ide mendirikan perusahaan pelayaran sendiri muncul pada kongres Muhammadiyah ke-17 di Minangkabau dan terealisasi pada kongres ke-24 di Banjarmasin pada 1935 dengan berdirinya maskapai pelayaran N.V. Schevaart dan Hendelmay (Indoche).
Pada kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta 1937, dibentuk Komite Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia (CPPHI). Pada 21 Januari 1950, Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) membentuk Panitia Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia (PPHI) dengan KH. M. Sudjak sebagai ketua. Kehadiran PPHI menandai lahirnya lembaga baru yang secara sah ditetapkan sebagai penyelenggara perjalanan haji Indonesia selain pemerintah, melalui Surat Kementerian Agama No.3179 pada 6 Februari 1950.
Melihat sejarah haji Indonesia, tampak peran penting Muhammadiyah dalam perbaikan pelayanan bagi jamaah haji. Usaha Muhammadiyah menjadi pijakan untuk menyusun pelayanan haji yang lebih manusiawi. Kini, pelayanan haji sedang dalam transisi dari Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah ke Kementerian Haji dan Umrah, sebagaimana disahkan Presiden Prabowo Subianto. Semoga pelayanan jamaah haji menjadi tugas suci yang bebas korupsi dan manipulasi. [Et]
* Eks Pedagang Kerupuk Singkong keliling, yang kini belajar menjadi petani Organik. Penjaga akun twitter @ekosangpencerah dan mengelola Taman Bacaan Masyarakat Pustaka Rumah Dunia. Warga Persyarikatan di PCM Minggir Sleman.
