Oleh: Amrizal, M.Ag. | Anggota Majelis Tarjih, Tajdid, dan Tabligh PCM Ciracas

Shahih Bukhari telah menjadi rujukan hadits utama di Dunia Islam. Banyak ulama besar telah memberikan syarh atas kita tersebut. Akan tetapi, siapakah sesungguhnya ulama yang pertama memberikan syarah atas kitab tersebut?

Dia adalah Hamd ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Khaththab. Kunyah beliau adalah Abu Sulayman. Beliau dikenal dengan 2 nisbat, yaitu: al-Khaththabi dan al-Busti. Al-‘Allamah al-Kattani berkata, “Al-Khaththabi, nisbat kepada kakeknya, Khaththab al-Madzkur. Dikatakan sesungguhnya ia adalah keturunan Zayd ibn al-Khaththab, saudara ‘Umar ibn al-Khaththab.”[1] Al-Busti dinisbatkan pada kota Bust. Berkata Yaqut al-Hamawi, “Kota ini terletak antara Sijistan, Ghaznin dan Hirrah. Saya menduga kini bagian dari Kabul.[2] Banyak sumber biografi Imam al-Khaththabi menyebut bahwasanya ia lahir pada pertengahan tahun 310 H di Kota Bust.[3] Demikianlah yang disiarkan tanpa disebutkan secara detail hari, bulan atau tahun dilahirkannya.

Dia berasal dari keluarga terpelajar. Dia sangat mencintai ilmu sejak kecil dan ia mengawali pembelajarannya di Bust kemudian ia melanjutkan perjalanan ilmiahnya berturut-turut ke Makkah, Baghdad, Bashrah, Nisabur dst kemudian kembali ke Bust hingga wafat di kota kelahirannya tersebut.[4] Di antara guru-gurunya adalah Imam Ibn al-A`rabi, Abu Bakr ibn Dasah, Abu Bakr al-Isma`ili, Abu al-`Abbas al-Asham, Abu `Amru as-Simak, Mukram al-Baghdadi al-Bazzar, Abu Bakr an-Najjad, Hamzah al-‘Uqbi, dll. Adapun di antara murid-muridnya adalah Imam al-Hakim (311-405 H), Abu Hamid al-Isfarayini (344-400 H), Abu ‘Ubayd al-Harawi (w. 401 H), Abu Dzar al-Harawi (355-343 H), ‘Abdulghafar ibn Muhammad al-Farisi (350-480 H). dalam fiqh ia mengikuti Madzhab asy-Syafi`i.

Selain dikenal sebagai seorang faqih dan muhaddits, ia pun dikenal sebagai seorang sastrawawan. Adalah sahabatnya, Imam Abu Manshur ats-Tsa’alabi[5] -di antara mereka terjalin persahabatan yang saling menyayangi dan mencintai- menampakkan persahabatannya saat berbicara dengan Imam al-Khaththabi,

“Sembunyilah di bumi Abu Sulayman atau muncullah

Bagiku engkau dekat pondokmu atau jauh

Tak asing bagiku dan aku khawatir akan perpisahan

Sekalipun dengan ruhku kutebus ruhmu, karena engkau adalah aku”[6]

Imam al-Khaththabi menjawab,

“Hatiku tersandera di Nisabur di sisi saudaraku

Takkan ada yang menyamainya meskipun engkau berkeliling negeri

Ia memiliki lembaran-lembaran akhlaq yang luhur

Terpatri di sana keshalihan, kecerdasan, dan kelembutan yang tak luntur”[7]

Ini menunjukkan bahwasanya di antara keduanya terjalin rasa saling mencintai dan bersatu dalam persahabatan.

Dia juga dikenal memiliki akhlaq yang luhur dan kebaikan amal dalam berinteraksi dengan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari perkataannya,

“Senangkan semua manusia

Sebagaimana yang disenangi oleh jiwamu

Sesungguhnya semua manusia

Mereka semua anak-anak dari jenismu”[8]

Dia juga dikenal dengan sifat itsar ketimbang melakukan ‘uzlah, meskipun di akhir hayatnya ia sangat menghendaki ‘uzlah dan menyendiri karena banyaknya kemungkaran yang terjadi di segala lini kehidupan pada zamannya. Di akhir hayatnya ia menetap di Kota Bust bersama keluarga dan kerabatnya, akan tetapi ia merasa asing berada di antara mereka karena tidak menemukan apa yang sesuai baginya di antara manusia. Melalui perkataannya ia menghibur diri,

 “Betapa sedih manusia dalam keterasingan pondoknya

Demi Allah, sesungguhnya ia dalam ketidakberdayaan

Adapun diriku terasing dari Bust dan penduduknya

Meskipun di sanalah keluarga dan kerabatku berada”[9]

Dalam ‘uzlah ia sangat gemar bertafakkur akan kekuasan Allah dan merenungkan ciptaan-Nya. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan dalam perkataannya saat ia melihat seekor burung yang hinggap di atas pohon,

“Aduhai sekiranya aku hanyalah seekor burung yang bersiul

Yang berasal dari hutan belantara sakit dan sendiri

Tidaklah menghantui pikirannya rizki esok hari

Juga tak menghantuinya hisab di hari kebangkitan nanti

Kebaikan bagimu burung sungguh kebaikan bagimu

Sungguh bahagia di dunia siapapun yang sepertimu”[10]

Meskipun demikian berkaitan dengan ‘uzlah perlu diketahui bahwasanya Imam al-Khaththabi tidak memaknainya dengan meninggalkan manusia, menjauhi mereka atau tidak menunaikan hak-hak mereka sebagaimana mestinya, akan tetapi ia menjelaskan mengenai ‘uzlah, “Tidaklah kami menghendaki rahmat Allah dengan ‘uzlah yang dipilih dengan cara memisahkan diri dari jama’ah dan persatuan, meninggalkan hak-hak manusia dalam ibadah, menyiarkan salam dan menjawab penghormatan… Sesungguhnya yang kami kehendaki dengan ‘uzlah adalah meninggalkan kecurigaan dalam persahabatan dan meningalkan yang lebih dari itu serta meninggalkan segala keberlimpahan yang sebenarnya tidak engkau butuhkan.”[11]

Dia mencari nafkah melalui perdagangan. Ia berdagang dengan miliknya yang halal dan menafkahkannya untuk kebaikan saudaranya.[12] Sungguh tampak sekali Imam al-Khaththabi memiliki karakter zuhud, wara’, menjaga jarak dari para sultan serta meniadakan pendekatan pada mereka. Hal ini tampak jelas dengan tidak ada satu pun gubernur yang memberinya hadiah terkait dengan kitab-kitab yang telah ditulisnya, meskipun karya-karyanya tersebut berguna bagi para murid yang menuntut ilmu padanya. Hampir tidak ada rujukan yang mengatakan bahwasanya ia menulis kitab agar mendapatkan respon yang baik dari salah seorang khalifah atau gubernur pada zamannya. Padahal sesungguhnya pada masa ini banyak para penulis yang mempersembahkan karyanya untuk khalifah. Para gubernur pun sangat ingin para ‘ulama mendekat pada mereka. Biasanya mereka akan diberikan hadiah dan perhargaan yang berlimpah.

Setelah kehidupan yang dipenuhi dengan kesungguhan dan pengajaran dalam ilmu; Imam al-Khaththabi memenuhi sepanjang hidupnya dengan ilmu-ilmu keislaman sehingga meninggalkan sejumlah karya yang sangat bernilai, melalui tangannya muncullah sejumlah penuntut ilmu terkemuka, dan kejeniusannya dikenal di kalangan para muhaddits, fuqaha, pakar bahasa dan satrawan. Ia menenui wajah Tuhannya di Kota Bust di sebuah ribath di pesisir Hindmand.[13] Adapun perihal tahun wafatnya sejumlah besar penulis biografi Imam al-Khaththabi. Adapun mengenai bulan wafatnya mereka berbeda pendapat terdapat perbedaan pendapat antara sekitar 388-400 H.

Dengan wafatnya Imam al-Khaththabi manusia kehilangan seorang ‘alim yang terhormat dan imam yang agung. Manusia mengambil manfaat yang besar dari berbagai pelajarannya yang bermanfaat, karya-karyanya yang berharga sehingga kepergiannya menjadi duka tersendiri dan sejumlah penyair menyampaikan dukacita dengan berbagai syair yang bernilai tinggi. Di antaranya sebagaimana yang dikatakan oleh sahabatnya Abu Manshur ats-Tsa’alabi:

“Lihatlah oleh kalian bagaimana cahaya dipadamkan

Lihatlah oleh kalian bagaimana jatuhnya rembulan

Lihatlah oleh kalian tenggelamnya dari ketinggian

Demikianlah di dalam bumi surutnya lautan”[14]

Meratapi pula Abu Bakr ‘Abdullah ibn Ibrahim al-Hanbali melalui perkataannya:

“Sungguh ia terpuji  sebagaimana namanya Hamd yang wara

Pujian yang sempurna dengan penghormatan

Tercipta di dalamnya tempat tercela bagi para pencela

Jika disebutkan suatu hari yang ada hanya pujian

Semoga Allah yang Maha Mulia memaafkan

Allah bersamanya menjabat dan merahmatinya

Tuhan dan ruhnya selalu dengan rayhan

Menjamu ruhnya dengan rimbun kicauan”[15]

Maka tak diragukan lagi ini menjadi dalil atas kedudukan al-Khaththabi di hadapan zamannya dan zaman setelahnya.

Di sisi lain al-Hafizh Abu Thahir as-Silafi (w. 576) sungguh sangat takjub dengan Imam al-Khaththabi, maka ia memuji dan menghormatinya dengan penuh minat melalui tulisannya, “Sungguh menurutku aku berada di dalam pelabuhan kebaikannya dengan minat besar pada karya-karyanya. Aku berharap dapat mengumpulkan karya-karyanya tahun 505 H:[16]

Adalah kesalahan mencurigai al-Khaththabi

Syaikh ahlul ‘ulum dan budi pekerti

Sosok yang kitab-kitabnya diikuti kebanggaan

Sosok yang perkataannya memiliki kefasihan

Jika memperoleh Firdaws melelahkan jiwa

Pemilik ‘arsy menjadi tujuan segala kelelahan

Tolonglah aku untuk mengambil dan menyusun

Menjauhkan hasrat akan penghargaan

Indahnya wajah Allah sebagai imam

Yang cerdas membawa semua kebenaran

Sungguh bagiku memenangkan ruh dan rayhan

Dari segala syubhat dan kecurigaan

Sungguh ia adalah matahari pengikut syari’at

Bagi para penyimpang hanyalah cambuk azab”[17]ͻ


[1] Ar-Risalah al-Mustathrifah hal. 44

[2] Mu’jam al-Buldan 1:415

[3] Siyar A’lam an-Nubala 17:23

[4] Tadzkirah al-Huffazh 3/1019

[5] Khizanah al-Adab 2:123

[6] Ibid 2:124, Mu’jam al-Udaba 4:254, Diwan at-Tsa’alabi hal. 122,

[7] Kedua bait ini disebutkan oleh as-Silafi dan al-Baghdadi dari al-Khaththabi sebagaimana yang terdapat pada Khizanah al-Adab 2:125, akan tetapi peneliti kitab ini melihat kedua bait ini berasal dari Abu al-Fath al-Busti yang memuji ats-Tsa’alabi sebagaimana yang terdapat dalam Yatimah ad-Dahr 4:219 dalam biografi Abu al-Fath, peneliti berkata, “Sesungguhnya yang menyebabkan pencampuran ini adalah keduanya, baik dari Abu al-fath al-Busti dan al-Khaththabi al-Busti. Keduanya juga disebutkan Yaqut al-Hamawi dari al-Khaththabi, lihat Mu’jam al-Udaba 4:256.

[8] Mu’jam al-Udaba 4/257

[9] Yatimah ad-Dahr 3/335 dan Khizanah al-Adab 2/124

[10] Lihat Kitab al-‘Uzlah hal. 11-12 karya al-Khaththabi

[11] Lihat Kitab ‘Auzlah li al-Khaththabi hal. 11-12

[12] Al-Wafi bi al-Wafayat 7/317

[13] Khizanah al-Adab 2:123, adalah nama sebuah sungai di Sijistan, Mu’jam al-Buldan 5:418

[14] Diwan ats-Tsa’alabi hal. 55 dan Mu’jam al-Udaba 4:260

[15] Ibid 4:251 dan al-Wafi bi al-Wafayat 7:317

[16] Ma’alim as-Sunan 4:381 dan Mu’jam al-Udaba 4:256-257

[17] Ma’alim as-Sunan 4/381 dan Mu’jam al-Udaba 4/256-257